Read more: http://impoint.blogspot.com/2013/02/cara-membuat-komentar-facebook-di-blogger.html#ixzz2S1VblPid Dilarang copy paste artikel tanpa menggunakan sumber link - DMCA Protected Follow us: @ravdania on Twitter | pemakan.worell on Facebook
Selamat datang di WardahBiotik.Blogspot.Com

Tuesday 9 November 20100 komentar

Salah Asuhan



Penulis : Abdul Muis

Penerbit : Balai Pustaka

Cetakan : I, 1928

Setting cerita : Padang dan Betawi (Jakarta)




Bukan sembarang roman. Inilah yang tergambar dari novel Salah Asuhan. Novel tersebut banyak mendapatkan perhatian dari kalangan sastrawan. Bahkan, Salah Asuhan merupakan salah satu novel terbesar Indonesia pada abad ke-20. Nilai budaya dan pesan edukasi melekat kuat pada Salah Asuhan.



Bahkan, menurut saya, nilai-nilai yang terkandung novel Salah Asuhan masih relevan pada kehidupan zaman sekarang. Abdul Muis cukup jeli menangkap fenomena pada saat itu (1920-an). Nilai-nilai kearifan lokal dikemas menjadi satu dalam sebuah sindiran halus terhadap pribumi yang ”latah” hidup ala ke-Barat-Barat-an.



Cerita diawali oleh kisah Hanafi, tokoh utama dalam Salah Asuhan. Singkatnya, sang ibunda menginginkan Hanafi menjadi anak yang pandai. Karena itu, dia disekolahkan di HBS (Hoogere Burger School) di Betawi (sebutan Jakarta kala itu). Meski janda, ibunda Hanafi bertekad kuat agar si anak bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Soal biaya pendidikan, ibu Hanafi meminta bantuan kepada mamaknya, Sutan Batuah.



Selama bersekolah di HBS, Hanafi dititipkan pada keluarga Belanda. Otomatis, Hanafi dididik secara Belanda dan bergaul dengan orang-orang bule Eropa, terutama Belanda. Setamat dari HBS, kehidupan Hanafi belum terlepas dari lingkungan orang-orang Eropa. Pasalnya, dia bekerja di kantor asisten residen di Solok, Sumatera Barat.



Hanafi sangat bangga menjadi orang ”Belanda”. Bahkan, perilakunya lebih Londo ketimbang orang Londo itu sendiri, meski orang ia pribumi asli.



Dalam pergaulannya dengan orang Belanda, Hanafi jatuh cinta kepada Corrie, gadis keturunan Indo Prancis-Belanda. Namun, cinta Hanafi bertepuk sebelah tangan. Kendati begitu, Hanafi tak putus asa. Ia terus berusaha mendapatkan cintanya. Untuk menghindari Hanafi, Corrie akhirnya pindah ke Betawi. Lewat surat, ia meminta Hanafi melupakannya. Hanafi sangat kecewa. Cintanya pupus.



Ia pun jatuh sakit. Dalam keadaan tersebut, sang ibunda memberikan petuah dan nasihat. Si ibu juga meminta Hanafi menikahi gadis pribumi, yakni Rafiah. Ia merupakan pilihan sang ibunda. Hanafi menerima tawaran itu. Namun, semuanya atas dasar sakit hati lantaran cintanya ditolak Corrie. Pelampiasan saja.



Pernikahan Hanafi dan Rafiah tak berjalan mulus. Mereka sering bertengkar. Bahkan, tiada hari tanpa perang mulut. Tak jarang, Hanafi sering menyakiti Rafiah dengan kekerasan fisik. Hal itu terus berlangsung hingga anak mereka, Syafe’i, lahir. Kendati sering disakiti, Rafiah tetap tegar dan setia kepada Hanafi serta membesarkan Syafe’i dengan baik.



Suatu saat, Hanafi digigit anjing gila sehingga dia harus berobat ke Betawi (Jakarta). Di kota tersebut, di bersua kembali dengan Corrie. Cinta lama Hanafi bersemi kembali. Dia berusaha keras untuk mendapatkan Corrie. Untuk mencapai tujuannya, Hanafi mengurus surat dan dokumen guna mendapatkan hak sebagai warga Belanda. Dia lalu meminta wanita cantik itu untuk bertunangan dengannya.



Karena iba, Corrie akhirnya bersedia. Pesta pertunangan itu dihelat di rumah teman Corrie. Sementara itu, ibunda Hanafi dan Rafiah masih tetap menunggu kedatangan Hanafi. Rafiah bahkan masih setia dan mencintai suaminya meski tahu bahwa Hanafi bakal menikahi Corrie. Rafiah juga memaafkan segala tindakan kekerasan oleh Hanafi.



Sementara itu, setelah menikah, rumah tangga Corrie dan Hanafi tidak bahagia. Mereka juga hidup dalam kondisi membingungkan. Bangsa Eropa tidak mengakui mereka. Orang-orang Indonesia juga tak mengakui mereka karena kesombongan Hanafi.



Di tengah rentetan masalah, Hanafi menjadi sangat pencemburu. Suatu hari, Corrie kedatangan Tante Lien, seorang mucikari. Hanafi sangat murka. Dia menuduh Corrie berbuat serong. Lama-kelamaan Corrie tak tahan, dia menuntut cerai. Dia lantas pergi ke Semarang dan menjadi pengurus sebuah panti asuhan di sana.



Hanafi limbung, dia menyadari kesalahannya dan menjemput Corrie ke Semarang. Corrie menolak. Hanafi lalu pulang ke Betawi dengan perasaan hancur. Dia jatuh sakit. Setelah sembuh, dia pergi ke Semarang lagi. Sesampai di sana, dia menjumpai Corrie dalam keadaan kritis karena terserang kolera. Tak lama kemudian, dia meninggal. Sebelum ajal menjemput, Corrie memaafkan Hanafi.



Kematian Corrie kian menambah kesedihan Hanafi. Dia menyesali perbuatannya kepada Corrie dan Rafiah. Dia lantas pulang ke kampung halaman di Padang. Dia ingin melihat anaknya, Syafe’i. Hanafi berharap agar sang anak tak meniru sifat bapaknya. Sesampai di Padang, Hanafi tak berani menemui Rafiah. Ketika itu, Hanafi melihat sang ibunda, Rafiah, dan Syafe’i sedang bergembira di sebuah pasar malam. Hanafi menatap mereka dengan hati hancur. Dia teringat dosa-dosanya kepada mereka. Hanafi lalu memutuskan untuk meninggalkan Padang dan bunuh diri.



***



Salah Asuhan merupakan kebalikan dari Siti Nurbaya. Jika cerita Siti Nurbaya berakhir bahagia, Salah Asuhan harus menerima kenyataan: sad ending. Kendati demikian, Salah Asuhan tetap layak mendapatkan apresiasi. Bagaimanapun, si penulis (Abdul Muis) hendak menggambarkan situasi pada zaman penjajahan Londo tersebut. Sebuah pesan kearifan lokal disampaikan dan dikemas dengan apik oleh Muis.



Yakni, budaya luar (Barat) tidak selalu baik dan cocok untuk diikuti. Apalagi bila itu disikapi dengan kebanggaan terhadap budaya asing. Lebih Londo ketimbang Londo itu sendiri. Saya masih melihat relevansinya kini. Yakni, banyak orang Indonesia yang lebih bangga menggunakan bahasa asing (baca: Inggris) ketimbang bahasa Indonesia. Banyak plang berkosakata asing. Bahkan, ada pemimpin yang sering mengucapkan kosakata Inggris dalam pidato kenegaraan (sumber dari Kompas, Jawa Pos, dll). Kendati tidak larangan untuk itu, sebagian kalangan mengingatkan akan pentingnya tetap menjaga nilai kearifan lokal.



Saya sendiri menyadari bahwa hal-hal berbau Barat tidak selalu baik untuk dilakukan. Paling tidak itulah yang sedikitnya bisa saya rasakan. Misalnya, ngopi di Starsbuck atau makan di restoran cepat saji seperti KFC dan McD. Selain tak bagus bagi kesehatan jika dilakukan secara terus-menerus, kebiasaan tersebut berbahaya buat kantong (bisa bikin tekor!). Masih lebih baik minum air putih dan makan tempe, bukan? Pakai batik Pekalongan pun tak kalah membanggakan dibandingkan mengenakan produk asing merek Louis Vuitton.



Di sisi lain, Salah Asuhan menyisipkan pesan kepada para orang tua untuk memberikan perhatian lebih saat menyekolahkan anaknya ke luar (baik luar kecamatan, kabupaten, provinsi, maupun negeri). Sebagaimana diketahui, gaya hidup zaman sekarang tak ubahnya zaman Hanafi dalam cerita Salah Asuhan. Jika tak kuat dengan hedonisme dan glamorisme, sengsaraisme bakal mengintai!



Anda percaya itu? Kalau saya, dengan segala hormat, saya mempercayainya.





Surabaya, 9 November 2010



W 412 DAH
Share this article :

Post a Comment

Silahkan Beri Komentar Untuk Entri Ini Sebagai Tanda Persahabatan dan dukung artikel saya sebagai peserta ME-Awards 2013

 
Support : WardahBiotik
Copyright © 2013. Wardah Biotik - All Rights Reserved
Template Created by WardahBiotik
Proudly powered by Blogger