Judul : Perjalanan Jauh, Kisah Perjuangan Sepasang Pejuang
Penulis : M. Ali Chanafiah dan Salmiah Chanafiah (Pane)
Penerbit : Penerbit Buku Ultimus
Tahun : 2010
“Membaca judul dan mengamati sampul depan buku ini, terasa ada ada nuansa petualangan yang tak biasa dari isinya. “Perjalanan Jauh”, diimbuhi “Kisah Kehidupan Sepasang Pejuang” meresonansikan getaran tertentu yang sulit untuk dijabarkan. Asing namun menggugah rasa ingin tahu. Jalan setapak yang dipagarpayungi oleh pepohonan dengan ranting-rantingnya dan ujung jalan berupa cakrawala luas sebagai gambar sampul memperkuat impresi awal saya.
Apa relevansi perjalanan jauh dan kehidupan sepasang pejuang yang menuturkan kisah mereka dalam buku ini? Tanya itu yang menggelayuti saya seketika mengamati buku ini. Melalui penuturan sederhana yang terasa jujur dalam buku ini, tanpa terasa buku setebal 462 halaman ini terbacai tanpa terputus. Narasi buku yang ditulis dari sudut pandang sepasang eyang dan ompung ini membuat saya merasa seperti seorang cucu yang duduk di hadapan kakek dan nenek, dan didongengi kisah hidup dengan segala aspek di dalamnya.
Sebuah biografi apalagi otobiografi takkan bisa terlepas dari subjektivitas penulisnya. Tentu saja. Namun biografi atau pun otobiografi menawarkan sebuah perspektif pribadi penulisnya terhadap diri, lingkungan dan dunianya. Dan otobiografi di tangan saya ini adalah kisah kehidupan dari sepasang manusia yang melewati zaman pergerakan nasional menuju kemerdekaan, sekitar proklamasi, pasca kemerdekaan, hingga mengalami status stateless nun jauh di ujung utara bumi, jauh dari tanah kelahiran. Buku ini akan membawa kita ke Bengkulu, Jogjakarta, Surabaya, Jakarta, Palembang, hingga ke Moskow dan berlanjut ke Stockholm, Swedia. Bukan saja dalam artian jarak, “Perjalanan Jauh” juga melingkupi suasana batin penulis pada setiap peristiwa yang dilaluinya. Sekali lagi dengan penuturan yang sederhana, jelas, dan lugas…”
***
Cuplikan di atas adalah bagian awal dari resensi saya terhadap buku “Perjalanan Jauh, Kisah Kehidupan Sepasang Pejuang” yang ditulis oleh M. Ali Chanafiah dan Salmiah Chanafiah (Pane). Tulisan ini tanpa mengurangi keseluruhan isi buku tersebut, ingin menitikberatkan pada aktivitas kedua pejuang ini dalam dunia pendidikan. Pada kesempatan lain, saya telah menuliskan tinjauan menyeluruh terhadap buku “Perjalanan Jauh”.
Siapakah sepasang suami istri ini? M. Ali Chanafiah adalah seorang pejuang yang malang melintang dalam masa pergerakan nasional menuju kemerdekaan, pernah menjadi anggota Konstituante, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR), dan pada tahun 1964 diangkat menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Srilanka. Salmiah adalah seorang aktivis perempuan yang banyak berkecimpung dalam dunia pendidikan, begitu pula suaminya. Tak heran, mereka berdua adalah lulusan Taman Siswa Jogjakarta yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara. Sebelum mereka berdua mendirikan Taman Siswa di Bengkulu pada masa pendudukan Belanda pada tahun akhir 1930-an, Salmiah adalah guru di Taman Siswa Sukabumi, sedang Ali Chanafiah menjadi anggota redaksi surat kabar Indonesia Berdjoeang di Surabaya.
Pergolakan politik Indonesia pada tahun 1965, membuat mereka menjadi manusia stateless hingga akhir hayat. Sebagai Duta Besar RI di Srilanka yang diangkat oleh Soekarno pada tahun 1964, Ali dan Salmiah terimbas dampaknya. Mereka tak bisa pulang ke tanah air, dan harus meneruskan hidup sebagai pelarian politik di Moscow hingga tahun 1983. Perjalanan jauh ternyata belum berakhir, keinginan untuk pulang ke tanah air pada tahun 1983, hanya bisa mencapai Singapura. “Perjalanan Jauh” kembali mereka lanjutkan dengan bermukim di Stockholm, Swedia, setelah melalui proses menegangkan karena izin tinggal mereka di Uni Soviet tak bisa diperpanjang.
Keinginan mereka untuk menghabiskan masa tua di tanah air hanya menjadi angan-angan. Beruntunglah, keinginan mereka untuk tinggal abadi dengan dimakamkan di tanah air tercapai. Tahun 2002, Salmiah yang merupakan adik dari sastrawan Armjn dan Sanusi Pane berpulang dan disemayamkan di Tonjong, Bogor. Kepergian “kekasih, sahabat dan teman seperjuangan”-nya—demikian ia menggambarkan istrinya—akhirnya diikuti oleh Ali Chanafiah pada tahun 2007. Ia dikebumikan di samping makam istrinya.
***
Pasangan suami istri ini dipertemukan saat menempuh pendidikan di Taman Siswa Jogjakarta. Walaupun berada dalam satu lembaga pendidikan, keduanya tak kerap bertemu muka. Pertemuan yang jarang tertutupi dengan korespondensi antara Ali dan Salmiah. Surat-surat itu mewakili gejolak pikiran dan gagasan mereka. Korespondensi itu pulalah yang menautkan hati mereka. Di halaman 66, Ompung (Salmiah Chanafiah) menuliskan sebagai berikut mengenai korespondensi mereka:
“Makin lama makin terungkaplah bahwa kami (Ali dan Salmiah—pen) mempunyai aspirasi dan kesenangan yang bersamaan dan cita-cita yang sama. Surat menyurat sudah kami rasakan sebagai kebutuhan pokok dalam kehidupan kami sebagai pemuda pejuang. Semua hal dituangkan dan dibicarakan dalam surat. Bertambah lama bertambah asyik…”
Pada beberapa bab dalam buku ini, kita akan menemukan pengalaman dan aktivitas kedua tokoh ini saat menempuh pendidikan di Taman Siswa. Bukan sekedar itu, pada bab-bab tersebut, baik Ali Chafiah dan Salmiah juga menggambarkan suasana dan metode pembelajaran di Taman Siswa. Di halaman 30, Ali Chanafiah menuturkan:
“Pada zaman itu Taman Siswa mempunyai Taman Indrya, tandingan Frobelschool, Taman Anak dan Taman Muda—masing-masing tiga tahun, sebagai tandingan HIS, Taman Dewasa sebagai tandingan MULO. Taman Siswa mempunyai pula Taman Guru”
Di Taman Guru inilah pendidikan untuk para guru dijalankan. Taman Guru tidak saja mengajarkan keterampilan mengajar membaca, menulis, berhitung dan ilmu-ilmu lain, namun juga diajarkan,
“…bagi seorang guru Taman Siswa sangat penting lagi adalah kewajiban untuk mendidik para siswa menjadi patriot Indonesia dan menanamkan jiwa dan semangat patriotisme kepada mereka.” (hal. 30).
Ali Chanafiah juga mengambarkan tentang betapa sederhana dan idealisnya para pengajar mereka di Taman Siswa. Para guru begitu sederhana dalam segala hal, baik itu berpakaian, berumah tangga dan berperilaku, tulis Ali Chanafiah (hal. 32). Selain itu ia juga mengambarkan teori pendidikan yang dianut oleh Taman Siswa, yaitu “Tricentra”. Teori ini memuta bahwa ada tiga pusat pendidikan, yaitu sekolah, rumah tangga dan masyarakat atau organisasi kemasyarakatan. Taman Siswa mengambil dua dari tiga sentra itu sebagai kewajibannya, yaitu sekolah dan organisasi kemasyarakatan. Organisasi siswa bernama Persatuan Pemuda Taman Siswa (PPTS). Di organisasi inilah, para pelajar Taman Siswa mengaktualisasikan diri dalam beragam kegiatan.
Pada masa itu, selain belajar dan aktif di PPTS, Eyang (M. Ali Chanafiah) tak juga aktif juga di perguruan rakyat Taman Putra Indonesia (TPI), semacam sekolah informal yang diperuntukkan untuk anak-anak Indonesia yang tak mungkin bersekolah, baik di sekolah Belanda maupun sekolah nasional lainnya. TPI ini diprakarsai oleh seorang perempuan aktivis bernama Sri Panggihan, yang dinding rumahnya menjadi salah satu dinding gedek, yang digunakan sebagai kelas-kelas untuk belajar. Pada perkembangannya TPI ini bertambah maju. Datanglah permintaan dari kampung-kampung lain, untuk pendirian TPI. Mewakili TPI inilah, Ali Chanafiah mengikuti Kongres Pendidikan Indonesia yang pertama kali diadakan pada tahun 1935.
“Kongres ini melahirkan suatu pertukaran pikiran tentang kebudayaan Indonesia, sekarang dan di masa yang akan datang…”
Salmiah sendiri juga tak luput dari beragam aktivitas pergerakan pemuda pada masa itu. Mewakili Indonesia Muda cabang Jogjakarta, ia menghadiri kongres Indonesia Muda di Solo pada tahun 1935. Kongres ini berhasil menganti pimpinan Indonesia Muda lama yang dianggapa tidak cukup bersikap kerakyatan dengan pemuda-pemuda yang lebih kiri dan radikal. Selain aktif di Indonesia Muda, Salmiah akhirnya juga terlibat di TPI atas ajakan Ali Chanafiah. Sebagaimana yang dituturkannya,
“…Bukan main besar hati Eyang ketika berhasil menariknya (Salmiah—pen) untuk membantu usaha Eyang di TPI…”(hal. 39)
Pada tahun 1935, masing-masing mereka menamatkan pendidikan mereka. Ali Chanafiah menamatkan Taman Dewasa, sedang Salmiah telah lulus dari Taman Guru. Dimulailah fase baru dalam kehidupan mereka. Ali Chanafiah memutuskan untuk membantuIndonesia Berdjoeang di Surabaya. Sedang Salmiah menjadi guru di Taman Siswa cabang Sukabumi. Ungkapan kegembiraan Salmiah saat diterima menjadi Pamong Taman Siswa Sukabumi, ia nyatakan dalam bentuk:
“…Alangkah gembiranya hati. Bekerja! Mendapat sepiring nasi dari hasil kerja sendiri…” (hal. 68)
Babak baru dalam kehidupan sebagai pamong Taman Siswa diisi oleh Salmiah dengan mencurahkan segala perhatian dan kemampuannya pada pendidikan murid-muridnya. Selain kegiatan belajar mengajar di kelas, ia juga mengadakan beragam kegiatan kemasyarakatan. Selain juga bersama para murid Taman Siswa, pada setiap akhir tahun ajaran mengadakan pertunjukan sandiwara. Ketenangan mengajar di Taman Siswa Sukabumi ini sempat terganggu ketika ruangan sekolah dan kamar tempat tinggal Salmiah mengalami musibah kebakaran. Konon pihak PID (mata-mata Belanda) mencurigai Taman Siswa melakukan kegiatan terlarang pada masa itu. Salah satunya menerima kedatangan Ali Chanafiah, yang saat itu menjadi redaktur Indonesia Berdjoeang, surat kabar yang sering mengalami delik pers dari pemerintah kolonial.
Ditengah hiruknya aktivitas dan selingan Ali Chanafiah dipenjarakan oleh pemerintah kolonialis Belanda, mereka berdua memutuskan untuk menikah. Pernikahan ini pada zaman itu lazim di sebut “kawin lari” karena baru mendapat persetujuan dari orang tua pihak perempuan setelah pernikahan itu berlangsung di Bengkulu. Pernikahan ini berurutan dengan pendirian Taman Siswa cabang Bengkulu yang mereka gagas. Pendirian Taman siswa ini berlangsung pada tahun 1936, empat tahun setelah Taman Siswa berdiri pertama kali di Jogjakarta Di Taman Siswa Bengkulu ini, Salmiah langsung turun tangan mengelola dan mengajar. Sedang Ali Chanafiah karena mendapat larangan mengajar dari pihak Belanda, hanya membantu secara tidak langsung. Bahu membahu bersama para pamong, mereka membangun Taman Siswa Bengkulu. Lagi-lagi, aktivitas mereka tak hanya sekedar mengajar di dalam kelas, tapi juga aktif dalam kegiatan sosial dan pergerakan pemuda pada masa itu di Bengkulu. Mereka menggambarkan masa-masa awal pernikahan dan pendirian Taman siswa Bengkulu dengan kalimat,
“Eyang berusia 20 dan Ompung 19 tahun ketika kami datang ke Bengkulu. Dua pembangunan kami mulai. Pertama, rumah tangga. Kedua, perguruan Taman Siswa… baik rumah tangga kami maupun Taman Siswa tidak boleh gagal. Gagal yang satu berarti gagal yang lain dan gagal pulalah tujuan hidup kami… ” (hal. 97).
Keberadaan Taman Siswa di Bengkulu awalnya berjalan lamban. Tak banyak orang tua murid yang berani menyekolahkan anaknya di Taman Siswa, ditambah Taman Siswa Bengkulu didirikan oleh seorang anak muda bekas tahanan pemerintah kolonialis Belanda. Barulah pada tahun kedua dan seterusnya, mulailah keberanian itu tumbuh pada diri orang-orang tua di Bengkulu. Malahan, murid-murid mulai berdatangan bukan dari Bengkulu saja, tapi juga dari kota-kota sekitar. Pada tahun ketiganya, Taman Siswa bengkulu telah bisa dikatakan berhasil mengambil hati masyarakat Bengkulu. Saat itu, Taman Siswa memiliki pengertian yang dipahami banyak orang sebagai harapan, sopan santun, kesederhanaan dan rasa bangga sebagai bangsa Indonesia.
Beragam kegiatan dilakukan di Taman siswa. Tak sebatas pada jam pelajaran di kelas saja. Pada sore hari, murid-murid dari kelas yang tinggi berkumpul. Kegiatan mereka adalah membaca majalah yang mereka buat sendiri. Lengkapnya, pasangan suami istri ini menuliskan:
“…Caranya adalah seperti berikut. Mereka (para murid—pen) menuliskan buah pikiran mereka di lembaran-lembaran lepas. Macam-macamlah yang ditulis. Kemudian karangan-karangan mereka itu dihimpun di dalam satu map… Pernah terjadi polemik tentang cinta di antara mereka dan Ompung. Asyik sekali! Mereka kira mereka berpolemik antara mereka saja. Mungkin samapai sekarang mereka tidak tahu bahwa itu Ompung. Bergiliran mereka membaca majalah itu mereka itu.” (hal. 100).
Selain itu, ada kegiatan berjalan di luar ruang kelas, ekskursi, berkemah, bersamapan di danau. Di samping semua kegiatan itu, mereka juga mendirikan Kepanduan Bangsa Indonesia. Beragam kegiatan ini, bagi Ali dan Salmiah Chanafiah selain bermanfaat bagi anak-anak juga bermanfaat untuk mereka berdua. Dalam hal ini mendekatkan hubungan mereka berdua dengan anak-anak didik mereka. Tradisi pertunjukan sandiwara pada pergantian tahun ajaran yang telah mengakar di pergurua taman Siswa lain juga dilakukan di Taman Siswa Bengkulu. Beragam lakon mulai dari yang sederhana hingga yang bermuatan semangat kebangsaan mereka tampilkan setiap tahunnya. Pertunjukkan ini tidak saja untuk para murid tapi juga dihadiri oleh masyarakat umum ketika itu. Tak ketinggalan, kegiatan bermusik pun mereka lakukan melalui klub musik yang dipimpin oleh salah seorang pamong Taman Siswa.
Guru-guru di Taman Siswa Bengkulu sendiri saat itu, selain berasal dari kiriman dari Taman Siswa Jogja, juga ad ayang berasal dari INS Kayu Tanam, dan juga murid-murid yang dididik untuk menjadi kader pamong. Dengan segala keterbatasan, proses belajar mengajar berlangsung, baik di ruangan kelas maupun di luar jam pelajaran. Pada perkembangannya, Taman Siswa Bengkulu semakin meluas, dengan dibukanya cabang-cang di kota-kota lain di wilayah keresidenan Bengkulu.
Pada saat yang hampir bersamaan, Taman siswa Bengkulu kedatangan 2 tamu istimewa. Pertama, kedatangan Ki Hadjar Dewantara dan Nyi Hadjar Dewantara dalam rangka mengunjungi cabang-cabang Taman Siswa di Pulau Sumatera. Kunjungan ini bertepatan dengan pertunjukan kesenian, yang mendapat perhatian yang besar dari Ki Hadjar Dewantara. Tamu kedua, sebenarnya tak berkaitan langsung dengan Taman Siswa, yaitu pembuangan pemuda Soekarno ke Bengkulu oleh Pemerintah Belanda, setelah sebelumnya diasingkan ke Endeh, Flores. Bung Karno sendiri dalam masa pembuangannya di Bengkulu memprakarsai klub debat “Cerdas” yang dihadiri oleh para pamong Taman Siswa dan pemuda-pemuda yang terlibat dalam pergerakan. Ali dan Salmiah Chanafiah menjadi salah satu orang-orang terdekat Soekaro selama berada di pengasingan di Bengkulu.
Pada perkembangan selanjutnya, Suami istri ini membagi tugas. Ali Chanafiah akhirnya lebih terfokus pada pergerakan politik, sedang Salmiah tetap berfokus mengelola Taman Siswa. Tahun berganti dan penguasa pun berganti. Jepang masuk dan diiringi dengan upaya kemerdekaan Republik Indonesia. Ali Chanafiah terlibat aktif dalam masa itu.
***
Saat Agresi Militer Belanda ke-2 tahun 1949, pasangan ini harus terpisah beberapa kali. Ali Chanafiah ikut bergerilya ke daerah pedalaman yang tidak dikuasai Belanda, lalu smepat singgah di penjara Belanda. Masa-masa berat bagi republik muda, bernama Indonesia. Otomatis, masa pendudukan Belanda untuk yang kedua kalinya ini di Bengkulu mengakibatkan kegiatan Taman Siswa terhenti. Para pemuda bergerilya ke pedalaman dan daerah-daerah yang belum diduduki oleh Belanda.
Setelah pendudukan Belanda berakhir dan mulai era pembangunan ketatanegaraan Indonesia yang masih muda. Ali Chanafiah dan keluarga pindah ke Palembang, ibukota Sumatera Selatan, untuk menjalani tugas dalam pemerintahan. Salmiah pindah Ke Palembang dengan status sebagai Guru SMP. Setelah, kedua pasangan sempat menjalani hidup berjauhan, karena Ali Chanafiah menjalankan tugas sebagai anggota Konstituante yang bertugas di Bandung. Konstituante dibubarkan, namun hal ini membawa mereka berdua dan keluarga ke Jakarta, karena Ali Chanafiah diangkat menjadi anggota DPRGR dari Partai Komunis Indonesia (PKI) mengantikan D.N Aidit.
Pada tahun 1964, Ali Chanafiah diangkat menjadi Duta Besar Republi Indonesia Di Srilanka. Mereka sekeluarga pindah ke Srilanka. Menyusul peristiwa G30S, Ali Chanafiah mengundurkan diri dari jabatan Duta Besar. Dan dimulailah fase baru dalam perjalanan hidup mereka, sebagai warga dunia tanpa memiliki status kebangsaan (stateless). Kisah pasangan ini dalam sebagai seorang peminta suaka politik selama 17 tahun di Moscow dan berlanjut belasan tahun di Swedia dapat diikuti dalam buku “Perjalanan Jauh, Kisah Kehidupan Sepasang Pejuang” yang diterbitkan oleh Penerbit Ultimus tahun 2010 ini. Selain kisah kehidupan mereka berdua, pada bagian lampiran, terdapat dua tulisan panjang Ali Chanafiah berkaitan dengan proklamasi dan kehidupan Soekarno ketika berada di bengkulu.
Tulisan ini tak lebih hanya secuplik perjuangan dua anak manusia, dalam perjuangan panjang hidup mereka. Salah satunya dalam bidang pendidikan, gerakan mencerdaskan anak-anak bangsa. Semoga ada hikmah pada setiap kisah yang kita telusuri.
Home
Serba Serbi
Pasangan Pendidik Secuplik dari Buku “Perjalanan Jauh, Kisah Perjuangan Sepasang Pejuang”
Pasangan Pendidik Secuplik dari Buku “Perjalanan Jauh, Kisah Perjuangan Sepasang Pejuang”
Tuesday, 9 November 20100 komentar
Label:
Serba Serbi